MEMBANGUN BUDAYA

Baik organisasi yang berorientasi terhadap profit maupun yang tidak harus menghasilkan profit untuk menjaga keberlangsungan hidup dan bertumbuh sebagaimana harapan pemiliknya. Lalu, apa hubungan budaya dengan profit? Bukankan untuk meningkatkan profit sebaiknya yang digenjot adalah penjualnnya melalui strategi marketing yang baik? Atau melalui keputusan investasi yang tepat dan keputusan struktur modal seperti degree of operating leverage dan degree of financial leverage atau dengan mengkombinasikannya?

well, semua itu benar. Tapi terdapat beragam jalan menuju Roma, bukan? Terdapat banyak sekali riset yang menunjukkan hubungan positif budaya organisasi dengan kinerja organisasi. Dan, salah satu indikator kinerja yang paling valid adalah profit. Hasil riset Harvard Business School menunjukkan bahwa budaya memiliki dampak yang kuat dan semakin besar dampaknya terhadap prestasi organisasi. Kesimpulan dari penelitian itu adalah:

  1. Budaya korporat dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang.
  2. Budaya korporat bahkan mungkin faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau kegagalam perusahaan dalam dekade mendatang.
  3. Budaya korporat yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam jangka panjang adalah tidak jarang; dan budaya itu berkembang dengan mudah, bahka dalam perusahaan yang penuh dengan orang yang bijaksana dan pandai.
  4. Walaupun sulit untuk diubah, budaya korporat dapat dibuat untuk lebih meningkatkan prestasi.
Berdasarkan hasil riset tersebut perusahaan harus membangun budaya untuk meningkatkan produktivitas karyawan serta pelayanan terhadap konsumen. Suatu hal akan menjadi budaya jika dibiasakan secara konsisten. Untuk membangun kebiasaan ini, perusahaan membangkitkan kesadaran dan pemahaman terlebih dahulu Mengenai budaya-budaya yang akan ditanamkan. Demi pemahaman yang lebih mudah mari kita pikirkan cerita berukut.

Dulu, saya adalah seorang perokok aktif. Dalam situasi tertentu, rasanya sangat bangga menghisap rokok di depan orang-orang dewasa karena dengan demikian muncul perasaan bahwa mereka akan melihat saya sebagai orang yang telah dewasa. Di samping itu, kebiasaan merokok setelah makan, saat bersama teman-teman, dan pada saat waktu luang sudah begitu mendarah daging sehingga hal itu dilakukan secara otomatis. Kemudian samapi suatu ketika, saya memutuskan untuk berhenti merokok. Hal ini terjadi karenan kesadaran dan pemahaman akan dampak negatif merokok dan dampak positif bila berhenti merokok. Hal itu tidak mudah, butuh waktu dan upaya yang sungguh-sungguh. Perhatikan bahwa saya bangga pada saat saya perokok; sekarang saya juga bangga sebagai seseorang yang tidak perokok bahkan cenderung anti terhadap asap rokok. Saya tidak berubah. saya tetaplah saya. Yang berubah adalah paradigma saya sehingga saya berprilaku dan menyikapi suatu hal dengan berbeda. Saat masih kecil, Nick berupaya bunuh diri karena lahir dengan tanpa tangan dan kaki. Ia berpikir siapa yang mau mepekerjakan dan menikahiku? apa gunanya saya hidup? sekarang ia adalah motivator dunia yang memberikan inspirasi kepada banyak rang di seluruh dunia. Perhatikan bahwa ia tidaklah erubah. Ia tetaplah tidak punya lengan dan kali. Apa yang berubah adalah paradigmanya terhadap kondisinya sehingga ia pun berprilaku dan menyikapi hidup secara berbeda. 

Kita telah panjang bercerita tentang paradigma individu. Dengan pemikiran yang sama, perusahaan juga haru menumbuhkan kesadaran dan pemahaman akan budaya budaya yang akan ditanamkan oleh di dalam sebuah organisasi. Hal ini harus dilakukan secara konsisten agar terbentuk menjadi budaya. Tapi sayangnya, hanya segilintir perusahaan saja yang menerapkan ini. Mau bukti? Contoh sederhana coba tanya diri sendiri atau karyawan karyawan apakah mereka mengetahui visi dan misi organisasi di mana mereka bekerja. Adakah yang mengetahui? jika ada ya dari segelintir perusahaan tadi. 

Sekarang coba perhatikan restoran siap saji seperi McDonald's dan Kentucky Fried Chicken. Setiap karyawan menggunakan waktu secara cermat untuk memperoleh produktivitas maksimal. Misalnya, saat sepi karyawan tidak memboroskan waktu mereka dengan mengotak-atik HP atau bergosip satu sama lain, melainkan waktu luang tersebut digunakan untuk membersihkan toilet, mengepel lantai, membersihkan jendela, membuang sampah, dan sebagainya. Ingat perusahaan-perusahaan ini merupakan market leader di berbagai negara di dunia. Di sisi lain, kita juga sering melihat yang sebaliknya. Mengap hal itu terjadi? Karena mereka membudayakannya. Memboroskan waktu, bergosip saat kerja, Melayani konsumen dengan tidak responsif, tidak berempati, tidak handal dan bahkan cenderung tidak sopan, dan lain sebagainya sudah menjadi budaya di perusahaan-perusahaan ini. Hasilnya? Seperti layang-layang yang benangnya putus. Tidak jelas kemana hendak pergi.



Komentar